Hustling and Struggling: Owning a Home

Blog1b

Di tulisan ini kami menceritakan keresahan para milenial Indonesia yang menginginkan untuk memiliki hunian sendiri namun kerap terbentur berbagai permasalahan finansial. Sebuah pergumulan yang banyak dihadapi di Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia.

Blog1b

 

Pada awal tahun 2021 saya pindah kembali untuk tinggal di rumah orangtua bersama keluarga, setelah sebelumnya selama enam tahun saya tinggal sendirian. Sebuah perubahan besar yang tentunya sangat berpengaruh ke gaya hidup sehari-hari saya. Hal yang paling terasa berubah adalah hilangnya privacy dan otoritas pribadi saya.

Tentunya tinggal di rumah orangtua bersama keluarga adalah hal yang menyenangkan. Biaya hidup lebih hemat dan tidak pernah merasa kesepian, namun banyak waktu-waktu yang membuat saya juga merindukan hidup sendiri di dalam hunian saya sendiri. Di usia 30-an hal ini adalah sesuatu yang dirasakan banyak orang, menjadi keresahan, namun tidak banyak dibicarakan.

Dalam obrolan-obrolan saya dengan banyak teman seusia yang masih tinggal bersama orangtua, mereka juga menginginkan untuk bisa pindah dan tinggal di hunian sendiri. Mereka semua memiliki alasan yang sama dengan saya, privacy dan kenyamanan, dua hal yang susah mereka dapatkan ketika tinggal di rumah orangtua. Tapi keinginan tersebut selalu terhalang oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan. “Mahal banget kalau mau beli rumah sendiri!”, itu rata-rata keluhan yang saya dengar dari teman-teman saya. Ada juga yang mengeluh betapa mahalnya memiliki hunian di daerah yang strategis.

Hunian yang mampu mereka beli rata-rata berada di daerah luar Jakarta dan membutuhkan waktu tempuh lebih dari satu jam untuk mencapai kantor atau tempat-tempat nongkrong di Jakarta. “Belum lagi kalau macet, bisa capek di jalan.”, itu juga keluhan mereka tentang menentukan untuk bisa pindah tinggal di hunian sendiri. Mahalnya harga untuk membeli hunian dan lokasi hunian adalah dua hal yang membuat mereka berpikir 100x untuk punya hunian sendiri.

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di tahun 2019, ada 81 juta milenial yang belum punya rumah sendiri. Sebanyak 28,63 persen menyatakan karena belum menemukan yang tepat, 24,9 persen belum mampu secara finansial, 10,49 persen belum mampu membayar cicilan KPR, dan sisanya menyatakan karena mereka masih punya cicilan lain. Ini berarti mayoritas milenial belum memiliki rumah karena terbentur masalah finansial.

Sebanyak dan serajin apapun kami, para milenial, bekerja dan menabung, akan sangat susah bagi kami untuk memiliki hunian sendiri. DP yang terlalu besar, pengajuan KPR yang ditolak karena history kredit yang belum memadai, dan bahkan cicilan bulanan yang terlalu berat. Fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan milenial Indonesia dan kesempatan bagi kami untuk punya dan tinggal di hunian sendiri. Apakah karena hal-hal ini kami harus mengorbankan privacy dan kenyamanan tinggal di hunian sendiri?

Blog1a

Ada beberapa teman saya juga yang akhirnya memilih untuk keluar untuk tinggal sendiri di kost. Selain mereka bisa punya privacy dan kenyamanan pribadi, mereka juga bisa tinggal di daerah yang strategis. Tapi tinggal di kost ternyata tidak menyelesaikan masalah mereka. “Harga sewa mahal kalau dibandingin sama fasilitasnya. Kamar sempit dan banyak aturan-aturan pengelola kost yang harus diikutin.”, itu salah satu keluhan mereka. You lose some, you gain some. Itu kata mereka tentang tinggal di kost. Banyak dari mereka yang meskipun sudah tinggal di kost tetap bermimpi untuk punya hunian sendiri.

“Sebenernya uang sewa kost ini bikin makin susah nabung untuk beli rumah sendiri.”, sebuah pendapat yang benar sekali. Bagaimana bisa menabung untuk beli hunian kalau sebagian besar sudah terpakai untuk bayar kost? Keluhan-keluhan ini membuat kami semua berpikir, apakah mungkin kami bisa punya hunian sendiri? Sekarang atau di masa depan? What does it take for us to own a home?